Masalah kemiskinan bukanlah hal baru dalam sejarah kehidupan
manusia di muka bumi. Kemiskinan
telah ada sejak dahulu kala, dimana pada masa itu masyarakat menjadi menjadi
miskin karena kurangnya kemudahan dan materi, bukan karena krisis pangan.
Kemiskinan telah mempersempit ruang bagi masyarakat untuk memperoleh sebelas
macam hak dasanya: pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan),
pekerjaan yang layak, perlindungan hukum,rasa aman, kesehatan, pendidikan, partisipasi
public dan politik, hak berinovasi, hak menjalankan hubungan spiritual dengan
Tuhan serta hak berpartisipasi dalam pemerintahan.
Penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab semua pihak,
pemerintah, organisasi sosial dan swasta, masyarakat dengan peningkatan taraf
hidup ekonomi, peningkatan mutu pendidikan serta pemberdayaan masyarakat.
Langkah pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan yang selama ini bersifat
top-down sudah saatnya dirubah karena terbukti menemui kegagalan dalam
implementasinya. Perumusan strategi penanggulangan kemiskinan harus
mengakomodasi suara rakyat yang menderita kemiskinan (bottom-up) agar program
yang dijalankan tepat sasaran dan berkelanjutan.
Indonesia sebagai
salah satu negara yang terkena dampak krisis moneter yang berujung krisis
ekonomi tahun 1997 sampai saat ini masih bergulat dengan persoalan kemiskinan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga beras dan minyak
mentah di pasar internasional. Kelangkaan minyak tanah, gas elpiji, dan beras
membuat rakyat semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang,
pelayanan kesehatan yang berakibat banyaknya anak-anak Indonesia yang menderita
gizi buruk, bahkan berujung kematian.
Selain itu,
kemiskinan juga menyebabkan banyaknya orang tua tidak mampu menyekolahkan
anak-anak mereka. Ada tiga alasan utama anak-anak Indonesia tidak bersekolah:
kurangnya dana orangtua, mereka harus bekerja membantu orang tua dan karena
menikah. Kemiskinan juga menjadi alasan sempurna penyebab rendahnya Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia.
Upaya
penanggulangan kemiskinan telah dilakukan pemerintah dengan penyediaan
kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan
lapangan kerja, pembangunan prasarana dan pendampingan, pembangunan sektor
pertanian, pemberian dana bergulir, penyuluhan sanitasi, dan lain-lain. Namun,
keberlanjutan upaya ini sangat bergantung pada ketersediaan anggaran dan
komitmen pemerintah karena semuanya berorientasi material. Dengan kata lain,
kajian mengenai kemiskinan berdasar pada paradigma modernisasi (the
modernization paradigm) dan the product centered model yang didasarkan pada
teori pertumbuhan ekonomi.
Penanggulangan
kemiskinan dapat dilakukan melalui:
a. Program penyelamatan
Program
penyelamatan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah seperti JPS (di bidang
pendidikan, pangan, kesehatan dan sosial) tetap diperlukan untuk mengatasi
kemiskinan pada tahap awal,tetapi hal itu hanya bersifat temporer.
b. Program
penciptaan lapangan kerja
Usaha penciptaan lapangan kerja di segala bidang yang dapat membantu
masyarakat keluar dari kemiskinan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
tetapi juga perusahaan swasta, organisasi sosial (LSM) dan masyarakat sendiri.
Perusahaan misalnya, melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)
melakukan mitra usaha dengan pengusaha kecil sehingga dapat berkembang dan
membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.
c. Program
pemberdayaan
Program pemberdayaan dalam jangka pendek untuk mengatasi krisis,
pembangunan prasarana, penanggulangan kemiskinan di perkotaan, program kemandirian
ekonomi rakyat, program kredit usaha keluarga sejahtera, dan sebagainya yang
selama ini dilakukan pemerintah harus tetap dilanjutkan untuk menanggulangi
kemiskinan.
Pemberdayaan harus meliputi semua aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial,
budaya dan politik), karena persoalan kemiskinan adalah persoalan
multidimensional.
Pemberdayaan yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
lokal dalam memenuhi kebutuhannya tanpa menghambat pemenuhan kebutuhan generasi
masa depan, di dalam konteks sosial-budaya, di antara keluarga bangsa dan
bangsa-bangsa yang bermartabat, sehingga dapat terlepas dari empat dimensi
kemiskinan.
Pemberdayaan ini tidak hanya ditujukan pada faktor fisik
yang nampak tetapi juga pada faktor moral yang tidak nampak, seperti modal
sosial (hubungan antar masyarakat), modal spiritual intelligence (nilai-nilai
agama), pembentukan perilaku yang kesemuanya harus dilakukan sejak usia dini.
Sikap keberpihakan pada sesama yang kekurangan yang diwujudkan dalam tindakan
nyata adalah buah dari nilai (moral dan agama) yang dianut dan kesetiaan
manusia untuk mendengar suara hati yang mampu melihat sesuatu hal dengan mata,
hati dan semangat orang lain.